1PA02 - NPM : 12513084
Bangsa
Indonesia sedang berproses Globalisasi yang berfikir bipolar ke multipolar
maksudnya dari pemikiran yang masih kuno menjadi lebih modern dan berpecah ke
wawasan yang luas. Revolusi pemerintahan dari sentralistik ke desentralisasi
yang saat ini dirasakan masih lemah dan kurang efektif dalam menjalankan
otonomi daerah dalam system pemerintahan Indonesia. Daerah menjadi mandiri
dalam hal politik dan social budaya. Sisa dari sentralistik masih dapat kita
rasakan dalam masing – masing daerah oleh karena itu kita perlu mengenal
kearifan local.
Pengertian
kearifan local atau yang disebut juga local wisdom atau local genius (istilah
antropologi yang di populerkan oleh Quaritch Wales) terdiri dari dua kata yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam disiplin antropologi dikenal istilah
local genius. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local
genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan
bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/ kepribadian budaya
bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing
sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara
Moendardjito (Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah
potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan
sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
- Mampu bertahan terhadap budaya luar
- Memiliki kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar
- Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur
budaya luar ke dalam
budaya asli
- Mempunyai kemampuan mengendalikan
- Mampu memberi arah path perkembangan budaya
John M. Echols dan Hassan Syadily dalam Kmaus
Bahasa Inggris mengatakan local berarti setempat dan wisdom (kearifan) adalah
kebijaksanaan. Secara umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami
sebagai gagasan – gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.
Dari
sisi penafsiran disepakati, makna dari Kearifan lokal yakni, terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai
yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Kearifan local dapat di pahami sebagai usaha
manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap
terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian
itu disusun secara etimologis , dimana wisdom dipahami sebagai kemampuan
seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap
sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu objek atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu.
Pengertian para ahli :
1.
Gobyah
(2003), kearifan local adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam
suatu daerah. Kearifan local merupakan suatu perpaduan antara nilai – nilai suci
firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan terbentuk dari keunggulan
budaya setempat yang merupakan produk masa lalu yang patu menjadi pegangan
hidup, meskipun bernilai lokal tapi mengandung nilai yang dianggap sangat
universal.
2.
Caroline
Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang
diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang
terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya
Kearifan lokal adalah dasar
untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal dibidang kesehatan, pertanian, pendidikan,
pengelolaan sumber daya alam dan kegiatanmasyarakat pedesaan. Dalam kearifan
lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal.Kearifan
budaya lokal sendiri adalah
pengetahuan lokal yang sudah
sedemikianmenyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya
serta diekspresikan dalamtradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Kearifan Lokal sebagai Identitas dan Ideologi
Bangsa
Boni Hargens
(2011) dalam tulisannya di Kompas menyatakan bahwa arus modernisasi,
liberalisasi, dan globalisasi semestinya tidak meniadakan suatu negara jatuh
dalam percaturan global asal saja negara tersebut ditopang oleh identitas
nasional yang kuat, tetapi juga didukung oleh ideologi dan kepemimpinan politik
yang kuat.
Selain etika moral yang bersumber pada
agama, di Indonesia juga terdapat kearifan lokal yang menuntun masyarakat
kedalam hal pencapaian kemajuan dan keunggulan, etos kerja, serta keseimbangan
dan keharmonisan alam dan sosial. Kita mengenal pepatah ”gantungkan cita-citamu
setinggi bintang di langit”, “bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”
yang mengimplikasikan ajakan untuk membangun etos kerja dan semangat untuk
meraih keunggulan. Dalam hal keharmonisan sosial dan alam, hampir semua budaya
di Indonesia mengenal prinsip gotong royong dan toleransi. Dalam suku
tertentu yang bermukim di pedalaman juga dikenal kearifan lokal yang bersifat
menjaga dan melestarikan alam sehingga alam (misalnya kayu di hutan) hanya
dimanfaatkan seperlunya, tidak dikuras habis.
Kearifan Lokal : antara Pusaka dan Senjata
Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang
berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional
(sastra lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya, tetapi
terdapat dalam berbagai bidang kehidupan nyata, seperti filosofi dan pandangan
hidup, kesehatan, dan arsitektur. Dalam dialektika hidup-mati (sesuatu yang
hidup akan mati), tanpa pelestarian dan revitalisasi, kearifan lokal pun suatu
saat akan mati. Bisa jadi, nasib kearifan lokal mirip pusaka warisan leluhur,
yang setelah sekian generasi akan lapuk dimakan rayap. Sekarang pun tanda
pelapukan kearifan lokal makin kuat terbaca. Kearifan lokal acap kali
terkalahkan oleh sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang akhirnya lebih berpihak
pada tekanan dan kebutuhan ekonomi. Sebagai contoh, di salah satu wilayah hutan
di Jawa Barat, mitos pengeramatan hutan yang sesungguhnya bertujuan
melestarikan hutan/alam telah kehilangan tuahnya sehingga masyarakat sekitar
dengan masa bodoh membabat dan mengubahnya menjadi lahan untuk berkebun sayur (Kompas, 23 April
2011). Ungkapan Jawa tradisional mangan ora mangan waton kumpul (‘biar tidak makan yang penting
berkumpul [dengan keluarga]’) sekarang pun makin kehilangan maknanya: banyak
perempuan di pedesaan yang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk bekerja
di mancanegara dengan risiko terpisah dari keluarga daripada hidup menanggung
kemiskinan dan kelaparan.
Kearifan lokal hanya akan abadi
kalau kearifan lokal terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari
sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah. Kearifan
lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan negara, misalnya dengan
menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong royong dan kekeluargaan
sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu, perlu
implementasi ideologi negara (yakni Pancasila) dalam berbagai kebijakan negara.
Dengan demikian, kearifan lokal akan efektif berfungsi sebagai senjata—tidak
sekadar pusaka—yang membekali masyarakatnya dalam merespons dan menjawab arus
zaman.
Contoh beberapa Kearifan
Lokal yang ada di Indonesia :
1.
Papua, terdapat
kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg
dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dan hidup manusia.
Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
2.
Serawai, Bengkulu,
terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dan kuatnya
keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
3.
Dayak Kenyah, Kalimantan
Timur, terdapat tradisi tana’ ulen. Kawasan
hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah
diatur dan dilindungi oleh aturan adat.
4.
Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat.
Masyarakat mi mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman,
dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan
rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga
penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah
lingkungan.
5.
Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan,
Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu,
sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali
atas ijin sesepuh adat.
6.
Bali dan Lombok,
masyarakat mempunyai awig-awig.