Sabtu, 21 Juni 2014

Kearifan Lokal

1PA02 - NPM : 12513084
            Bangsa Indonesia sedang berproses Globalisasi yang berfikir bipolar ke multipolar maksudnya dari pemikiran yang masih kuno menjadi lebih modern dan berpecah ke wawasan yang luas. Revolusi pemerintahan dari sentralistik ke desentralisasi yang saat ini dirasakan masih lemah dan kurang efektif dalam menjalankan otonomi daerah dalam system pemerintahan Indonesia. Daerah menjadi mandiri dalam hal politik dan social budaya. Sisa dari sentralistik masih dapat kita rasakan dalam masing – masing daerah oleh karena itu kita perlu mengenal kearifan local.
            Pengertian kearifan local atau yang disebut juga local wisdom atau local genius (istilah antropologi yang di populerkan oleh Quaritch Wales) terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/ kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
- Mampu bertahan terhadap budaya luar
- Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
- Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli
- Mempunyai kemampuan mengendalikan
- Mampu memberi arah path perkembangan budaya
John M. Echols dan Hassan Syadily dalam Kmaus Bahasa Inggris mengatakan local berarti setempat dan wisdom (kearifan) adalah kebijaksanaan. Secara umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan – gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.
            Dari sisi penafsiran disepakati, makna dari Kearifan lokal yakni, terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.  Kearifan local dapat di pahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian itu disusun secara etimologis , dimana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Pengertian para ahli :
1.      Gobyah (2003), kearifan local adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan local merupakan suatu perpaduan antara nilai – nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan terbentuk dari keunggulan budaya setempat yang merupakan produk masa lalu yang patu menjadi pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tapi mengandung nilai yang dianggap sangat universal.
2.      Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal dibidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatanmasyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal.Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikianmenyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalamtradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.

Kearifan Lokal sebagai Identitas dan Ideologi Bangsa
Boni Hargens (2011) dalam tulisannya di Kompas menyatakan bahwa arus modernisasi, liberalisasi, dan globalisasi semestinya tidak meniadakan suatu negara jatuh dalam  percaturan global asal saja negara tersebut ditopang oleh identitas nasional yang kuat, tetapi juga didukung oleh ideologi dan kepemimpinan politik yang kuat.
            Selain etika moral yang bersumber pada agama, di Indonesia juga terdapat kearifan lokal yang menuntun masyarakat kedalam hal pencapaian kemajuan dan keunggulan, etos kerja, serta keseimbangan dan keharmonisan alam dan sosial. Kita mengenal pepatah ”gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit”, “bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian” yang mengimplikasikan ajakan untuk membangun etos kerja dan semangat untuk meraih keunggulan. Dalam hal keharmonisan sosial dan alam, hampir semua budaya di Indonesia mengenal  prinsip gotong royong dan toleransi. Dalam suku tertentu yang bermukim di pedalaman juga dikenal kearifan lokal yang bersifat menjaga dan melestarikan alam sehingga alam (misalnya kayu di hutan) hanya dimanfaatkan seperlunya, tidak dikuras habis.
Kearifan Lokal : antara Pusaka dan Senjata
Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya, tetapi terdapat dalam berbagai bidang kehidupan nyata, seperti filosofi dan pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur. Dalam dialektika hidup-mati (sesuatu yang hidup akan mati), tanpa pelestarian dan revitalisasi, kearifan lokal pun suatu saat akan mati. Bisa jadi, nasib kearifan lokal mirip pusaka warisan leluhur, yang setelah sekian generasi akan lapuk dimakan rayap. Sekarang pun tanda pelapukan kearifan lokal makin kuat terbaca. Kearifan lokal acap kali terkalahkan oleh sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang akhirnya lebih berpihak pada tekanan dan kebutuhan ekonomi. Sebagai contoh, di salah satu wilayah hutan di Jawa Barat, mitos pengeramatan hutan yang sesungguhnya bertujuan melestarikan hutan/alam telah kehilangan tuahnya sehingga masyarakat sekitar dengan masa bodoh membabat dan mengubahnya menjadi lahan untuk berkebun sayur (Kompas, 23  April 2011). Ungkapan Jawa tradisional mangan ora mangan waton kumpul (‘biar tidak makan yang penting berkumpul [dengan keluarga]’) sekarang pun makin kehilangan maknanya: banyak perempuan di pedesaan yang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk bekerja di mancanegara dengan risiko terpisah dari keluarga daripada hidup menanggung kemiskinan dan kelaparan.
     Kearifan lokal hanya akan abadi kalau kearifan lokal terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah. Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan negara, misalnya dengan menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan gotong royong dan kekeluargaan sebagai salah satu wujud kearifan lokal kita. Untuk mencapai itu, perlu implementasi ideologi negara (yakni Pancasila) dalam berbagai kebijakan negara. Dengan demikian, kearifan lokal akan efektif berfungsi sebagai senjata—tidak sekadar pusaka—yang membekali masyarakatnya dalam merespons dan menjawab arus zaman.

Contoh beberapa Kearifan Lokal yang ada di Indonesia :
1.      Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dan hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
2.      Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dan kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
3.      Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana’ ulen. Kawasan
hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah
diatur dan dilindungi oleh aturan adat.
4.       Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat mi mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
5.       Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
6.      Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig.