Jumat, 20 Maret 2015

Kesehatan Mental : Sejarah Kesehatan Mental, Konsep Kesehatan Mental, dan Perbedaan Kesehatan Mental Barat dan Timur

Sejarah Kesehatan Mental



Penyakit mental sama usianya dengan manusia, meskipun secara mental belum maju, nenek moyang homo sapiens mengalami gangguan – gangguan mental seperti halnya dengan homo sapiens itu sendiri. Mereka menderita berbagai kecelakaan dan demam yang merusak mental mereka dan mereka juga merusak mental orang – orang lain dalam perkelahian – perkelahian. Sejak itu manusia dengan ras aputus asa selalu berusaha menjelaskan penyakit mental, mengatasinya dan memulihkannya. Mula – mula ia menghubungkan kekalutan – kekalutan mental dengan gejala – gejala alam, pengaruh buruk orang lain atau roh – roh jahat.
Zaman Prasejarah
            Manusia purba sering mengalami gangguan – gangguan baik mental maupun fisik seperti infeksi, artritis, penyakit pernapasan dan usus, serta arteriosklerosis (penyempitan pembuluh darah). Tetapi, manusia purba benar – benar berusaha mengatasi penyakit mental. Ia memandang dan merawatnya sama seperti halnya dengan penyakit – penyakit fisik lainnya. Baginya gigi yang sakit dan seorang yang gila (yang berbicara tidak karuan) disebabkan oleh penyebab yang sama, yakni roh – roh jahat, halilintar, atau mantera – mantera musuh. Jadi untuk penyakit baik mental maupun fisik digunakan perawatan – perawatan, seperti menggosok, menjilat, mengisap, memotong, dan membalut. Atau juga menggunakan salep, mantera, obat keras, dan sihir ; atau cara – cara lain yang mungkin terpikirkan oleh kawan – kawannya, pemimpin – pemimpinnya, atau ia sendiri.
Peradaban – Peradaban Awal
            Peradaban awal kita kenal di Mesopotamia, Mesir, Yahudi, India, Cina, dan benua Amerika, imam- imam dan tukang – tukang sihir merawat orang – orang yang sakit mental. Diantara semua peradaban tersebut sepanjang zaman kuno (dari 5000 tahun SM sampai 500 tahun M), prnyakit6 mental mulai menjadi hal yang umum. Bersama dengan penderitaan – penderitaan lain, kekalutan – kekalutan mental menjadi kawan seperjalan yang setia bagi manusia pada waktu ia bergerak menuju kehidupan yang terorganisasi. Ilmu kedokteran menjadi lebih terorganisasi waktu peradaban – peradaban menjadi lebih maju.
Plato ( 429 – 347 SM )

Bagi Plato, gangguan mental sebagian merupakan gangguan moral, sebagian merupakan gangguan fisik, dan sebagian lagi merupakan gangguan yang berasal dari dewa-dewa.

Aristoteles ( 348 – 322 SM )

Menerima dasar fisiologis bagi penyakit mental seperti yang diajarkan oleh Hippokrates. Meskipun ia melihat adanya penyebab psikologis, namun ia menolaknya, dan pengaruhnya begitu kuat pada pemikiran filosofis.

Iskandar Agung (356 – 322 SM)

Mendirikan sanatorium-sanatorium bagi orang-orang yang sakit mental, di mana disediakan pekerjaan, hiburan, dan olahraga – kebiasaan-kebiasaan yang diteruskan selama masa Yunani dan Romawi kemudian.

Tahap Multifaktoral
Berkembang setelah Perang Dunia II. Kesehatan mental dipandang tidak hanya dari segi psikologis dan medis, tetapi melibatkan faktor interpersonal, keluarga, masyarakat, dan hubungan sosial. Interaksi semua faktor tersebut diyakini mempengaruhi kesehatan mental individu dan masyarakat. Tahap ini merupakan Revolusi ke-3 gerakan kesehatan mental dengan tokohnya Whittingham Beers (“A Mind That Found Itself”), William James dan Adolf Meyer. Menurut pandangan ini, penanganan penderita gangguan mental lebih baik dilakukan sejak tahap pencegahannya, yaitu: 1.Pengembangan perbaikan dalam perawatan dan terapi terhadap penderita gangguan mental, 2.Penyebaran informasi yang mengarah pada sikap inteligen dan humanis pada penderita gangguan mental, 3. Mengadakan riset terkait, 4.  Mengembangkan praktik pencegahan gangguan mental.
Konsep Kehatan Mental

            Ada hubungan yang jelas antara konsep penyesuaian diri dan kesehatan mental, tetapi hubungan tersebut tidak mudah ditetapkan. Pasti kesehatan mental merupakan kondisi yang sangat dibutuhkan untuk penyesuaian diri yang baik, dan demikian juga sebaliknya. Apabila seseorang bermental sehat, maka sedikit kemungkinan ia akan mengalami ketidakmampuan menyesuaiakan diri yang berat. Kesehatan mental adalah kunci untuk penyesuaian diri yang sehat (Scoot, 1961).
             WHO (World Health Organization) mendefinisikan sehat sebagai sebuah kondisi yang lengkap yaitu sejahtera (well being) dari segi fisik, mental dan sosial, serta tidak hanya terbebas dari gejala atau penyakit. Individu yang bermental sehat adalah pribadi yang menampilkan tingkah laku yang adekuat dan bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, sikap hidupnya sesuai norma dan pola kelompok masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan. (Kartono, 1989). Adapun karakteristik individu sehat mental mengacu pada kondisi atau sifat-sifat positif, seperti kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang positif, karakter yang kuat serta sifat-sifat baik atau kebajikan (virtues) (Lowenthal, 2006).
WHO (1984) juga menambahkan aspek spiritual sebagai kriteria sehat, sehingga sehat berarti meliputi kondisi sejahtera pada:
(1) Aspek Fisik/Jasmani/Biologis
(2) Aspek Kejiwaan/Psikologis
(3) Aspek Sosial
(4) Aspek Spritual (rohani/agama)
Menurut Dictionary of Psychology (2002), kesehatan mental merupakan sebuah kondisi pikiran yang ditandai dengan kesejahteraan emosional, kebebasan relatif dari kecemasan dan gejala melumpuhkan, dan kapasitas untuk membangun hubungan yang konstruktif dan menghadapi tuntutan biasa serta tekanan hidup.
Konsep “sehat” berdasarkan ekologi ialah “sehat berarti proses penyesuain antara individu dengan lingkungannya. Proses penyesuaian ini berjalan terus-menerus dan berubah-ubah sesuai dengan perubahan lingkungan yang mengubah keseimbangan ekologi dan untuk mempertahankan kesehatannya orang dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Konsep sehat yang banyak dianut oleh berbagai negara adalah konsep “sehat” yang tercantum dalam pembukaan konstitusi WHO (1948) yang berbunyi sebagai berikut.
Konsep “sehat” tersebut sangat ideal hingga dalam kenyataan sulit dicapai maka timbulah beberapa kritik terhadap konsep tersebut.
1.      Sehat bukanlah suatu keadaan yang statis, tetapi merupakan suatu proses yang dinamis dan berubah-ubah setiap saat.
2.      Batasan “sejahtera” sangat sulit ditentukan
3.      Indikator yang digunakan untuk mengukur sangat banyak dengan validitas yang berbeda-beda.

Perbedaan Konsep Kesehatan Mental Barat dan Timur

Perbedaan pandangan mengenai konsep kesehatan mental Barat dan Timur adalah kesehatan mental di Barat yang bersifat dualistik, yaitu mengibaratkan manusia sebagai mesin yang sangat dipengaruhi oleh dominasi medis. Sedangkan di Timur kesehatan mental bersifat holistik, yaitu melihat sehat lebih secara menyeluruh dan saling berkaitan sehingga berpengaruh pada cara penanganan terhadap penyakit.


Model – Model Kesehatan Mental Barat dan Timur
Model kesehatan muncul karena asumsi mengenai kesehatan, seperti halnya model kesehatan dari Barat dan juga Timur.
1.      Model Biomedis (Freund, 1991) memiliki 5 asumsi. Pertama, terdapat perbedaan yang nyata antara tubuh dan jiwa sehingga penyakit diyakini berada pada suatu bagian tubuh tertentu. Kedua, penyakit dapat direduksi pada gangguan fungsi tubuh, baik secara biokimia atau neurofisiologis. Ketiga, setiap penyakit disebabkan oleh suatu agen khusus yang berpotensi dapat diidentifikasi. Keempat, melihat tubuh sebagai suatu mesin. Kelima, konsep tubuh adalah objel yang perlu diatur dan dikontrol.
2.      Model Psikiatris, merupakan model yang berkaitan dengan model biomedis. Model ini masih mendasarkan diri pada pencarian bukti-bukti fisik dari suatu oenyakit dan penggunaan treatmen fisik obat-obatan atau pembedahan untuk mengoreksi abnormalitas.
3.      Model Psikosomatis (Tamm, 1993), merupakan model yang muncul karena adanya ketidakpuasan terhadap model biomedis. Model ini menyatakan bahwa tidak ada penyakit somatik yang tanpa disebabkan oleh antesenden emosional dan atau sosial. Sebaliknya tidak ada penyakit psikis yang tidak disertai oleh simtom-simtom somatik.


Daftar Pustaka

Nursalam.2008.Konsep dan Penerapan Metodologi  Penelitian Ilmu Keperawatan.Jakarta : Salemba Medika

Dr. Budiarto Eko, SKM dan Dr. Dewi Anggraeni (2003). EPIDEMIOLOGI edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kartono, Kartini. (2000). Mental Hygiene. Bandung: Mandar Maju.

Semium, Yustinus. (2006). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Kasinius.

Semium Yustinus (2006). Kesehatan Mental 1 ( Pandangan umum mengenai penyesuaian diri dan kesehatan mental serta teori-teori yang terkait ). Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS.