Sejarah Kesehatan Mental
Penyakit mental
sama usianya dengan manusia, meskipun secara mental belum maju, nenek moyang
homo sapiens mengalami gangguan – gangguan mental seperti halnya dengan homo
sapiens itu sendiri. Mereka menderita berbagai kecelakaan dan demam yang
merusak mental mereka dan mereka juga merusak mental orang – orang lain dalam
perkelahian – perkelahian. Sejak itu manusia dengan ras aputus asa selalu
berusaha menjelaskan penyakit mental, mengatasinya dan memulihkannya. Mula –
mula ia menghubungkan kekalutan – kekalutan mental dengan gejala – gejala alam,
pengaruh buruk orang lain atau roh – roh jahat.
Zaman Prasejarah
Manusia purba
sering mengalami gangguan – gangguan baik mental maupun fisik seperti infeksi,
artritis, penyakit pernapasan dan usus, serta arteriosklerosis (penyempitan pembuluh
darah). Tetapi, manusia purba benar – benar berusaha mengatasi penyakit mental.
Ia memandang dan merawatnya sama seperti halnya dengan penyakit – penyakit
fisik lainnya. Baginya gigi yang sakit dan seorang yang gila (yang berbicara
tidak karuan) disebabkan oleh penyebab yang sama, yakni roh – roh jahat,
halilintar, atau mantera – mantera musuh. Jadi untuk penyakit baik mental
maupun fisik digunakan perawatan – perawatan, seperti menggosok, menjilat,
mengisap, memotong, dan membalut. Atau juga menggunakan salep, mantera, obat
keras, dan sihir ; atau cara – cara lain yang mungkin terpikirkan oleh kawan –
kawannya, pemimpin – pemimpinnya, atau ia sendiri.
Peradaban – Peradaban Awal
Peradaban awal
kita kenal di Mesopotamia, Mesir, Yahudi, India, Cina, dan benua Amerika, imam-
imam dan tukang – tukang sihir merawat orang – orang yang sakit mental.
Diantara semua peradaban tersebut sepanjang zaman kuno (dari 5000 tahun SM
sampai 500 tahun M), prnyakit6 mental mulai menjadi hal yang umum. Bersama
dengan penderitaan – penderitaan lain, kekalutan – kekalutan mental menjadi
kawan seperjalan yang setia bagi manusia pada waktu ia bergerak menuju
kehidupan yang terorganisasi. Ilmu kedokteran menjadi lebih terorganisasi waktu
peradaban – peradaban menjadi lebih maju.
Plato ( 429 – 347 SM )
Bagi Plato, gangguan
mental sebagian merupakan gangguan moral, sebagian merupakan gangguan fisik,
dan sebagian lagi merupakan gangguan yang berasal dari dewa-dewa.
Aristoteles ( 348 – 322
SM )
Menerima dasar
fisiologis bagi penyakit mental seperti yang diajarkan oleh Hippokrates.
Meskipun ia melihat adanya penyebab psikologis, namun ia menolaknya, dan
pengaruhnya begitu kuat pada pemikiran filosofis.
Iskandar Agung (356 –
322 SM)
Mendirikan
sanatorium-sanatorium bagi orang-orang yang sakit mental, di mana disediakan
pekerjaan, hiburan, dan olahraga – kebiasaan-kebiasaan yang diteruskan selama
masa Yunani dan Romawi kemudian.
Tahap Multifaktoral
Berkembang
setelah Perang Dunia II. Kesehatan mental dipandang tidak hanya dari segi
psikologis dan medis, tetapi melibatkan faktor interpersonal, keluarga,
masyarakat, dan hubungan sosial. Interaksi semua faktor tersebut diyakini
mempengaruhi kesehatan mental individu dan masyarakat. Tahap ini merupakan
Revolusi ke-3 gerakan kesehatan mental dengan tokohnya Whittingham Beers (“A
Mind That Found Itself”), William James dan Adolf Meyer. Menurut pandangan ini,
penanganan penderita gangguan mental lebih baik dilakukan sejak tahap
pencegahannya, yaitu: 1.Pengembangan perbaikan dalam perawatan dan terapi
terhadap penderita gangguan mental, 2.Penyebaran informasi yang mengarah pada
sikap inteligen dan humanis pada penderita gangguan mental, 3. Mengadakan riset
terkait, 4. Mengembangkan praktik
pencegahan gangguan mental.
Konsep
Kehatan Mental
Ada hubungan yang jelas antara
konsep penyesuaian diri dan kesehatan mental, tetapi hubungan tersebut tidak
mudah ditetapkan. Pasti kesehatan mental merupakan kondisi yang sangat dibutuhkan
untuk penyesuaian diri yang baik, dan demikian juga sebaliknya. Apabila
seseorang bermental sehat, maka sedikit kemungkinan ia akan mengalami
ketidakmampuan menyesuaiakan diri yang berat. Kesehatan mental adalah kunci
untuk penyesuaian diri yang sehat (Scoot, 1961).
WHO (World Health
Organization) mendefinisikan sehat sebagai sebuah kondisi yang lengkap yaitu
sejahtera (well being) dari segi fisik, mental dan sosial, serta tidak hanya
terbebas dari gejala atau penyakit. Individu yang bermental sehat adalah
pribadi yang menampilkan tingkah laku yang adekuat dan bisa diterima oleh
masyarakat pada umumnya, sikap hidupnya sesuai norma dan pola kelompok
masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan.
(Kartono, 1989). Adapun karakteristik individu sehat mental mengacu pada
kondisi atau sifat-sifat positif, seperti kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) yang positif, karakter yang kuat serta sifat-sifat
baik atau kebajikan (virtues) (Lowenthal, 2006).
WHO (1984) juga menambahkan aspek spiritual sebagai kriteria sehat,
sehingga sehat berarti meliputi kondisi sejahtera pada:
(1) Aspek Fisik/Jasmani/Biologis
(2) Aspek Kejiwaan/Psikologis
(3) Aspek Sosial
(4) Aspek Spritual (rohani/agama)
Menurut Dictionary of Psychology (2002), kesehatan mental merupakan sebuah
kondisi pikiran yang ditandai dengan kesejahteraan emosional, kebebasan relatif
dari kecemasan dan gejala melumpuhkan, dan kapasitas untuk membangun hubungan
yang konstruktif dan menghadapi tuntutan biasa serta tekanan hidup.
Konsep “sehat” berdasarkan ekologi ialah “sehat berarti proses penyesuain
antara individu dengan lingkungannya. Proses penyesuaian ini berjalan
terus-menerus dan berubah-ubah sesuai dengan perubahan lingkungan yang mengubah
keseimbangan ekologi dan untuk mempertahankan kesehatannya orang dituntut untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Konsep sehat yang banyak dianut oleh
berbagai negara adalah konsep “sehat” yang tercantum dalam pembukaan konstitusi
WHO (1948) yang berbunyi sebagai berikut.
Konsep “sehat” tersebut sangat ideal hingga dalam kenyataan sulit dicapai
maka timbulah beberapa kritik terhadap konsep tersebut.
1.
Sehat bukanlah suatu
keadaan yang statis, tetapi merupakan suatu proses yang dinamis dan
berubah-ubah setiap saat.
2.
Batasan “sejahtera”
sangat sulit ditentukan
3. Indikator yang digunakan untuk mengukur sangat banyak dengan validitas yang
berbeda-beda.
Perbedaan
Konsep Kesehatan Mental Barat dan Timur
Perbedaan pandangan mengenai konsep kesehatan mental Barat dan
Timur adalah kesehatan mental di Barat yang bersifat dualistik, yaitu
mengibaratkan manusia sebagai mesin yang sangat dipengaruhi oleh dominasi
medis. Sedangkan di Timur kesehatan mental bersifat holistik, yaitu melihat
sehat lebih secara menyeluruh dan saling berkaitan sehingga berpengaruh pada
cara penanganan terhadap penyakit.
Model
– Model Kesehatan Mental Barat dan Timur
Model kesehatan muncul karena asumsi mengenai kesehatan,
seperti halnya model kesehatan dari Barat dan juga Timur.
1.
Model Biomedis (Freund, 1991) memiliki 5 asumsi. Pertama,
terdapat perbedaan yang nyata antara tubuh dan jiwa sehingga penyakit diyakini
berada pada suatu bagian tubuh tertentu. Kedua, penyakit dapat direduksi pada
gangguan fungsi tubuh, baik secara biokimia atau neurofisiologis. Ketiga,
setiap penyakit disebabkan oleh suatu agen khusus yang berpotensi dapat
diidentifikasi. Keempat, melihat tubuh sebagai suatu mesin. Kelima, konsep
tubuh adalah objel yang perlu diatur dan dikontrol.
2.
Model Psikiatris, merupakan model yang berkaitan dengan model
biomedis. Model ini masih mendasarkan diri pada pencarian bukti-bukti fisik
dari suatu oenyakit dan penggunaan treatmen fisik obat-obatan atau pembedahan
untuk mengoreksi abnormalitas.
3.
Model Psikosomatis (Tamm, 1993), merupakan model yang muncul
karena adanya ketidakpuasan terhadap model biomedis. Model ini menyatakan bahwa
tidak ada penyakit somatik yang tanpa disebabkan oleh antesenden emosional dan
atau sosial. Sebaliknya tidak ada penyakit psikis yang tidak disertai oleh
simtom-simtom somatik.
Daftar Pustaka
Nursalam.2008.Konsep
dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan.Jakarta : Salemba Medika
Dr. Budiarto Eko, SKM dan Dr. Dewi Anggraeni (2003).
EPIDEMIOLOGI edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kartono,
Kartini. (2000). Mental
Hygiene. Bandung: Mandar Maju.
Semium,
Yustinus. (2006). Kesehatan
Mental 2. Yogyakarta: Kasinius.
Semium Yustinus (2006). Kesehatan Mental 1 ( Pandangan umum
mengenai penyesuaian diri dan kesehatan mental serta teori-teori yang terkait
). Yogyakarta: PENERBIT
KANISIUS.